COPAS dari http://taroyana.blogspot.com/2014/02/mari-bicara-tentang-keadilan.html
Sekarang saya pengen nulis tentang gosip, isu, atau bisa dibilang berita yang sedang ramai dibahas dikalangan tempat saya kerja.. Ini ceritanya masalah keadilan, masalah kenyamanan kerja, dan mungkin bisa dipersempit menjadi sebuah hak dan kewajiban..
Beberapa hari lalu, kantor sedikit ramai dengan kabar tentang sebuah tulisan di kompasiana yang diduga ditulis oleh seorang pegawai DJP. Berita tersebut juga ramai dibicarakan di grup social media kantor, dan juga di forum diskusi pegawai DJP.
Saya pun penasaran, walopun selalu malas ngikutin gosip-gosip seputar tempat saya bekerja.
Saya pun cari di kompasiana, dan membaca tulisan tersebut..
Saya cek akun penulisnya, ternyata akun baru saja terdaftar..
Nah sampai tulisan ini saya tulis, artikel di kompasiana tersebut telah terhapus oleh admin kompasiana, tapi masi bisa dibuka dalam mode mobile.. Dan saya kopikan saja kesini, selagi masi bisa... Hahaha..
Kecurigaan pun muncul, "hebat nih pejabat DJP bisa calling admin Kompasiana buat hapus tulisan yang berani itu" Hahahaha... ada-ada aja...
Kecurigaan pun muncul, "hebat nih pejabat DJP bisa calling admin Kompasiana buat hapus tulisan yang berani itu" Hahahaha... ada-ada aja...
Oke, Tulisannya sebagai berikut...
Saat Keadilan Terusik, Penerimaan Negara Terancam
(Skandal Mutasi/promosi Eselon IV Direktorat Jenderal Pajak)
"Kejahatan merajalela bukan semata-mata pelakunya semakin banyak tetapi karena orang-orang baik memilih untuk diam dan mendiamkan. Dan saya pilih tidak mendiamkan."
Anies Baswedan
“Tempat terdalam di Neraka disediakan untuk mereka yg memilih netral di tengah krisis moral”
Untuk kesekian kalinya kami terhempas lagi, kali bukan hinaan maupun cercaan dari media masa, bukan pula dari pimpinan kami yang tak mampu mengendalikan lidahnya. Namun justru datang dari organisasi DJP yang kami cintai ini atau mungkin lebih tepatnya oknum di organisasi DJP, dan lebih tepatnya lagi oknum-oknum di Bagian Kepegawaian DJP. Bagian yang seharusnya bertindak untuk kepentingan dan atas nama organisasi, namun untuk kesekian kalinya kepentingan kelompok, kepentingan pribadi yang menjadi panglima. Jika serangan itu datang dari luar apakah dari media maupun wajib pajak kami siap menghadapi, dan selama ini kami sudah membuktikan perjuangan kami. Suami, istri, anak beserta sanak family kami tinggalkan demi menjalankan tugas di pelosok negeri tercinta Republik Indonesia ini. Mengabdi dengan menghadapi berbagai tantangan dan ancaman yang kadang kala mengancam jiwa dan raga. Namun semua kami lakukan dengan sebaik-baiknya dengan harapan suatu saat bisa kembali bergabung bersama sanak family mengabdi di lokasi yang tidak jauh dari kediaman keluarga. Namun harapan-harapan itu serasa semakin jauh, dengan pengkhianatan dan ketidak adilan yang dilakukan oknum-oknum tersebut di atas tadi.
Pada tahun 2012 Direktorat Jenderal Pajak menerbitkan aturan tentang mutasi dan promosi untuk pejabat eselon IV dilingkungan DJP, kami biasa menyebutnya dengan PER-01/07 tahun 2012 karena baru terbit 1 bulan aturan tersebut entah kenapa sudah direvisi kembali. Namun kami tidak terlalu perduli terkait revisi tersebut karena aturan ini merupakan harapan baru buat kami. Kami bisa “mengira-ngira” bagaimana masa depan kami? 3 (tiga) tahun setelah ditempatkan di daerah kami memiliki harapan untuk kembali ke kampung halaman kami. Untuk daerah terpencil malah bisa hanya 2 (dua) tahun sedangkan paling lama sesial-sialnya 5 tahun kami akan bertugas di suatu lokasi. Bukan waktu yang singkat memang, bukan aturan yang sempurna pula namun setidaknya kami memiliki harapan. Itu lah yang selalu dikumandangkan saat sosialisai oleh bagian kepegawaian di kantor kami. Dengan harapan itulah kami melanjutkan perjuangan kami berutugas di pelosok negeri. Walaupun tiada lagi tabungan karena habis untuk membeli tiket pulang pergi sekedar menghilangkan rasa kangen terhadap keluarga.
30 Januari 2014, menjelang malam, bahkan saat kantuk pun belum terasa, mimpi indah kami direngut dengan paksa, digantikan dengan mimpi buruk, yang datang terlalu cepat. Liburan panjang berubah menjadi siksaan dan renungan panjang. Apa salah kami? Apa hina kami? Sehingga kami tidak bisa mendapatkan mimpi-mimpi yang sudah kami rajut sekian lama. Apakah kalian kira kami bodoh itu sehingga bisa kalian permainkan seenaknya saja dengan nama kepentingan organisasi? Padahal hanya kepentingan pribadi kalian dan kroni-kroni kalian saja yang kalian pikirkan! Boleh saja aturan kalian jadikan tameng dan permainan tapi hati kalian tidak bisa berbohong. Saat keadilan diabaikan jangan harap tidak akan ada perlawanan. Saat aturan jadi permainan jangan harap kalaian bisa bebas begitu saja, karena aturan itulah yang akan menjerat kalian. Ini adalah bentuk perlawanan kami atas ketidak adilan! Saat peraturan menjadi akal-akalan dan tipu muslihat untuk kezaliman serta kelicikan para oportunis maka kami akan berteriak walaupun mungkin hanya dalam diam dan keheningan. Buat apa kami beprestasi menjadi yang terbaik apabila kemudian hak kami diabaikan dan disia-siakan. Buat apa kami jadi nomor satu kalau kemudian kami malah disingkirkan oleh orang-orang tidak berkompeten yang hanya pandai menjilat pantat penguasa di kantor pusat! Bubarkan saja semua kegiatan pemilihan pegawai AR/PK/pelaksana/Eselon IV jika akhirnya tidak mendapatkan penghargaan dari organisasi tapi malah mendapatkan kezoliman dari para pengambil keputusan dan kroni-kroninya serta para oportunis pencari keuntungan pribadi yang hobi menjilat.
Pak Dirjen yang tidak lagi kami hormati, kami masih bisa menerima selama ini anda tidak membela kami saat kami diserang dan dihina oleh media masa, wajib pajak, masyarakat bahkan oleh sanak family kami sendiri. Kami tetap bekerja dengan baik dan berusaha memaklumi kesibukan anda dengan kepentingan dan kasus-kasus anda sendiri. Tapi saat anak buah anda sendiri melakukan kezaliman dan ketidak adilan kami TIDAK TERIMA! Mungkin kami tidak bisa melawan secara hukum, karena pastinya kalian bisa menjawab dengan berbagai dalih yang canggih. Tetapi ketidakadilan dan kezaliman mudah sekali merasakannya dan sangat sakit di dada. Mungkin perlawanan kami hanyalah berupa penyerahan diri kami bahwa kami tidak mampu lagi bekerja , bahwa kami tidak mampu lagi mengejar target penerimaan pajak yang sudah tidak pernah dicapai lagi oleh DJP sejak anda memimpin. Jadi anda punya pilihan untuk mendengarkan jeritan hati kami dan meminta maaf kepada kami serta memperbaiki diri atau tetap menutup telinga dan membukakan mata. Karena memang kebenaran di DJP ini hanya anda yang memiliki namun tercapai atau tidaknya penerimaan pajak ada di tangan pegawai DJP. Jangan mentang-mentang anda mendapatkan Tunjangan Kinerja SENDIRIAN terus mau seenaknya saja!
Indikasi Pemanfaatan Jabatan Untuk Kepentingan Pribadi
a. Mutasi/Promosi pejabat eselon III tahun 2013, Paryan, mantan Kasubbag Mutasi, Bagian Kepegawaian dipromosikan menjadi Kepala KPP Pratama Cileungsi padahal tidak ada prestasi yang menonjol di bidang kepegawaian yang menjadi jabatannya. Yang terjadi pada masa jabatannya adalah jutru era transparansi yang merupakan nyawa reformasi birokrasi berubah menjadi era kegelapan dengan segala ketertutupan dan kerahasiaan yang berlebihan di luar batas kewajaran.
b. Mutasi/Promosi pejabat eselon IV tahun 2013, Sigit A Putranto, mantan pelaksana bagian kepegawaian dipromosikan menjadi pejabat eselon IV di kanwil Malang. Suatu prestasi yang sangat luar biasa seseorang bisa mendapatkan promosi di Pulau Jawa apalagi di “homebase” yang bersangkutan di kota Malang. Padahal TIDAK ADA PRESTASI YANG LUAR BIASA yang di hasilkan oleh yang bersangkutan. Mungkin ini adalah HADIAH dari kepala bagian kepegawaian atas upah kepatuhannya selama menjadi pegawai di bagian kepegawaian. Bandingkan dengan para mantan AR atau PK dari Kanwil Khusus atau Kanwil LTO, menghadapi beban kerja yang sangat tinggi dengan presure yang tinggi apa yang mereka dapatkan saat promosi? Kantor-kantor di wilayah paling ujung timur (papua) dan ujung barat (aceh) serta kantor-kantor di lokasi terpencil lainnya. LUAR BIASA SEKALI!!! Entah jimat apa atau “persembahan” apa yang sudah disampaikan oleh orang orang ini untuk Kepala Bagian Kepegawaian sehingga bisa promosi di homebase-nya?
c. Juang Trihono, Kepala Seksi Manajemen Proses dan Penjaminan Kualitas Pengembangan, sejak 2002 penempatan di Jakarta, Promosi Kasi 2007, sampai sekarang masih di Jakarta, sudah 11 tahun lebih di jakarta dan 8 tahun sebagai eselon IV di jakarta, tidak ikut dipindahkan juga. Pasti ada PENJAMIN dari para PENGUASA di Gatot Subroto. Beginikah yang dimaksud REFORMASI birokrasi di DJP? Aturan diterapkan beerdasarkan kepentingan teman-teman terdekat! Kalau begini caranya ya orang-orang gatsu akan terus menerus menjadi PENGUASA di Jakarta sementara yang lainnya semakin terpuruk di SELURUH PELOSOK INDONESIA!
Berikut kami sampaikan bukti-bukti tambahan KETIDAKADILAN, INDIKASI KECURANGAN, KKN dan PELANGGARAN KODE ETIK pada SK Mutasi pejabat Eselon IV Tahun 2014
1 Rhifat Kanwil DJP Sulawesi Utara, Tengah, Gorontalo, dan Maluku Utara Bagian Perlengkapan - Baru promosi ke luar daerah bulan Juli 2011 sudah dikembalikan ke homebase-nya di Jakarta padahal masa kerja baru 2 tahun 6 bulan, belum mencukupi 3 tahun sehingga tidak sesuai dengan PER-01/Per-07 sehingga jelas-jelas melanggar ketentuan.
- Pegawai-pegawai lainnya yang sudah promosi tahun yang sama atau tahun2 sebelumnya dari kanwil yang sama dan kanwil-kanwil lainnya di seluruh indonesia bahkan tidak ada yang dimutasikan ke homebasenya, padahal dari sisi kinerja tidak ada prestasi yang menonjol. Bandingkan saja dengan kasi penagihan terbaik serta eselon IV terbaik dari kanwil lain malah dibuang ke tempat terpencil, SANGAT MENCURIGAKAN!
- Indikasi KKN karena pegawai yang bersangkutan merupakan teman seangkatan dari Kasubbag Mutasi saat ini yaitu Sdr. WILDAN ABDILLAH sama-sama penerimaan sarjana tahun 2002 sehingga patut diduga terjadi penyalahgunaan wewenang dan pemanfaatn jabatan untuk kepentingan pribadi atau kelompok.
2 SRI HARTIWIEK KPP Madya Jakarta Timur Direktorat Peraturan Perpajakan I Sejak 1999 hanya berputar Jakarta-Bekasi saja padahal pegawai lainnya dimutasikan hanya berputar-putar dikanwil diluar jaawa dan jauh dari homebase-nya
Patut diduga pegawai yang bersangkutan mengurus ke bagian kepegawaian
3 RENI ARYANTHI Kanwil DJP Jakarta Selatan Direktorat Peraturan Perpajakan II Hanya berputar2 di jakarta-tangerang saja padahal pegawai lainnya dimutasikan hanya berputar-putar dikanwil diluar Jawa dan jauh dari homebase-nya
Patut diduga pegawai yang bersangkutan mengurus ke bagian kepegawaian
Nomor urut 4 wajar
5 AGUNG HARIS SETIAWAN Kanwil DJP Jakarta Selatan Oirektorat Ekstensifikasi dan Penilaian Sudah lebih dari 7 Tahun di Jakarta, dan masih berputar2 di jakarta juga padahal pegawai lainnya dimutasikan hanya berputar-putar dikanwil diluar Jawa dan jauh dari homebase-nya
Patut diduga pegawai yang bersangkutan mengurus ke bagian kepegawaian
Nomor 6 s.d 12 Wajar
13 Hendri Z., S.E., M.M. KPP Penanaman Modal Asing Lima Direktorat Penyuluhan, Pelayanan dan
Hubunoan Masvarakat Sudah lebih dari 7 Tahun di Jakarta, dan masih berputar2 di jakarta juga padahal pegawai lainnya dimutasikan hanya berputar-putar dikanwil diluar Jawa dan jauh dari homebase-nya
Patut diduga pegawai yang bersangkutan mengurus ke bagian kepegawaian
Nomor urut 14 wajar
15 Andri Ebenhard Panangian Direktorat Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Direktorat Transformasi Proses Bisnis Sejak PERTAMA KALI PENEMPATAN tahun 1996 alias 17 Tahun Tidak pernah bertugas di luar Jakarta. SANGAT LUAR BIASA!!!
Padahal DJP juga penerimaannya gak pernah tercapai 4 tahun terakhir ini. Jadi apa hebatnya satu orang ini sehingga tidak pernah keluar dari Jakarta?
BERSAMBUNG
Ya begitulah isinya...
Yang saya tangkap, penulis merasa kecewa dan menduga adanya ketidakadilan terhadap sebuah "hak" posisi (penempatan) kerja..
Oke,.. sah sah saja, ini sebuah opini, bukan sebuah pemberitaan, masalahnya adalah apakah indikasi-indikasi yang dituliskan itu semua benar dan terbukti? Jika memang benar, saya pun menilai ada ketidakadilan.. Tapi jika salah, ini namanya pencemaran nama baik, karena ada beberapa nama yang tertulis pada artikel tersebut.
Pro kontra pendapat pun bermunculan di kalangan pegawai DJP di forum diskusi..
Beberapa yang pro menilai,
"wah akhirnya bukan saya saja yang merasa demikian, untunglah ada yang mulai mengangkat ke publik", kurang lebih demikian.
"wah akhirnya bukan saya saja yang merasa demikian, untunglah ada yang mulai mengangkat ke publik", kurang lebih demikian.
Sedangkan yang kontra menilai,
"Ah, penulisnya BSH (barisan sakit hati),"
"Gitu aja mewek, baru aja penempatan jauh",
"Mang penulisnya berprestasi seperti apa uda berani bilang kaya gitu", kurang lebih juga seperti itu.
"Ah, penulisnya BSH (barisan sakit hati),"
"Gitu aja mewek, baru aja penempatan jauh",
"Mang penulisnya berprestasi seperti apa uda berani bilang kaya gitu", kurang lebih juga seperti itu.
Bagaimana menurut saya sendiri..??
Ah saya cuma pegawai coro, ga berani ngeluarin pendapat, cukup absen, bekerja dengan baik, absen lagi, that all, itu aja... Hahaha..
Maklum, saya ga tau apa, darimana saya bisa bilang pro dan kontra, kalo indikasi-indikasi diatas belum tentu kebenarannya, seperti yang sudah saya tulis diatas..?
Saya ingin cerita dan mengungkapkan sedikit pemikiran saya yang saya ketahui tentang penempatan kerja.
Di DJP, mutasi merupakan sebuah event yang diterapkan secara reguler, dalam kurun waktu tertentu, baik dari para pejabat eselon, fungsional, sampai ke posisi pelaksana.
Mungkin, dan menurut yang saya tangkap, mutasi yang diadakan secara reguler ini bertujuan untuk memutus "hubungan" (yang seharusnya tidak terjadi) yang terjalin antara fiskus dengan wajib pajak, mungkin juga sekedar memberikan suatu suasana baru bagi pegawai yang dimutasi. Setiap keluarnya SK mutasi, para pegawai selalu ramai, seperti halnya para prajurit yang menunggu pemberitahuan ke medan perang mana yang akan mereka tempuh untuk berjuang, (ya.. bahasanya agak lebay sih... ). Mutasi seperti sebuah event yang membuat deg-degan,
"Saya kena mutasi ga ya?" ,
"Wah saya mutasi nih, dikantor baru gimana ya? enak2 ga ya orang2nya disana"
"Saya ga kena nih, tapi si A kena gak? si B gimana?"
"Enak ya si A, bisa pulang kampung,"
"Kasian tuh si B, jauh banget dibuang.."
Kurang lebih seperti itulah yang terjadi apabila mutasi sudah keluar.
Bicara masalah mutasi, berarti pindah ke kantor baru, suasana baru.. rutinitas baru, dsb.
Kalo kantor yang baru berjarak tidak jauh dari rumah, sama seperti kantor sebelumnya, ya ga masalah, hanya masalah merubah arah menuju kantor, atau menuju kantor baru lebih macet atau ketemu banjir daripada menuju kantor sebelumnya, itu saja, ga terlalu signifikan. Yang menjadi masalah adalah bagaimana kalo pindah kantornya sampai pindah pulau,..??
Sebagai contoh, kantor lama ada di Jakarta, lalu di mutasi ke kantor baru di Kalimantan..??
Apalagi nama daerahnya belum pernah kita dengar sama sekali, apa nanti disana bakal ada listrik?? Hahaha.. ada sinyal..?? biaya hidup disana mahal ga? dan pertanyaan-pertanyaan kekhawatiran lainnya yang muncul.
Lain ceritanya jika mutasi ke homebase, ya pulang kampung dunk,.. bisa dipastikan biaya hidup bisa ditekan, bisa kumpul bersama keluarga, nyaman bekerja di tempat yang kita inginkan. Ini adalah idaman sebagian besar pegawai DJP saat ini, tentu saja saya juga.. Hehe..
Dan akan serasa mendapat sebuah bencana apabila dimutasi ke daerah "antah berantah", apalagi nama daerahnya belum pernah didengar, misal, dari Jakarta menuju daerah yang kita tuju, naek pesawat ke kota yang ada bandaranya, dari bandara menuju daerah kantor, masi membutuhkan perjalanan darat sekitar 5-10 jam naek mobil, lebih parah lagi kalo masi naek kapal perahu berjam-jam..
Hal tersebut akan menjadi sangat berat bagi yang harus meninggalkan keluarganya, istri dan anak. Sebuah dilema akan ditemui antara pisah dengan keluarga, atau keluarga diajak pindah ikut ke daerah tempat baru. Dengan mutasi yang ada sekitar kurang lebih 2-3 tahun sekali, kita harus siap ajak keluarga kita pindah dari daerah satu ke daerah lain dalam jangka waktu tersebut, mungkin juga akan terasa berat bagi anak kita yang selalu pindah sekolah, berganti-ganti lingkungan dan kebiasaan, beradaptasi kembali dengan lingkungan baru yang dijumpai. Belum lagi masalah baru yang mungkin dijumpai adalah tidak dijumpainya tempat ibadah seperti pemeluk agama minoritas seperti saya, seperti cerita yang saya temui dari salah satu rekan saya yang dimutasi kesuatu daerah yang tidak ada tempat ibadahnya. Itulah sebuah risiko.
Mungkin beda cerita juga seandainya yang dimutasi masi bujangan, saat pertama mendengar mutasi ke pelosok, mungkin akan shock, tapi lama-kelamaan setelah dijalani menjadi seru, bisa berada di suatu daerah yang tidak diduga sebelumnya, dapat pengalaman baru dunk..
Iya, itu kalo bujangan... Hehe..
Seseorang yang dalam hal meninggalkan anak istri, hidup berpisah akan menjadi sebuah perjalanan yang mungkin berat (mungkin, karena saya belum atau semoga tidak mengalami), bagaimana tidak berat, hidup kembali seperti bujangan (bujangan lokal), yang bisa bertemu hanya mungkin sebulan sekali. Dapur untuk biaya hidup menjadi dua, satu untuk anak istri, dan satu untuk dirinya sendiri, belum tiket pesawat mahal, dan jadwal penerbangan yang sedikit. Melepas kerinduan hanya dengan via telpon, itupun kalo sinyal lancar. Hehe..
Saya yakin, banyak pegawai mengalami hal seperti tersebut, nah, yang menjadi kunci adalah bagaimana dia menjalani keadaan tersebut. Jalani dengan ikhlas? atau selalu mengeluh dengan keadaan..??
Tidak bisa dipungkiri, semua pekerjaan ada risikonya, itupun yang selalu saya jelaskan ke istri saya yang saat inipun kami masi berpisah. Berkumpul ataupun berpisah semua ada risikonya, selalu ada plus dan minusnya. Saya yakin juga masi banyak pegawai yang mengalami hal ini masi dengan ikhlas, tetap bekerja dengan baik, mempercayakan semua nasib mereka pada petinggi-petinggi diatas yang menentukan nasib mereka akan dibuang dimana.
Dari awal diangkat menjadi pegawai, kami sudah mengisi sebuah pernyataan akan kesiapan ditempatkan dimana saja di seluruh Indonesia jadi ya mau gak mau itulah kewajiban kita. Dulu waktu mengisi pernyataan itu, saya sih bodo amat, yang penting dapat kerja, karena nyari kerja susah di jaman ini, tapi setelah kerja, kenapa ditugaskan ke tempat yang jauh dirasa menjadi sebuah "penyiksaan"..??
Balik lagi mengenai tulisan artikel di kompasiana diatas..
Kekecewaan sangat kuat terasa dalam tulisan tersebut, bukan kekecewan atas tempat mutasi yang ia terima, tapi kekecewaan atas ketidakadilan yang didapat.
"Si A kok enak ya mutasinya disana-sana aja "
"Si B enaknya, baru aja abis dari daerahnya karang mutasi ke daerah istrinya"
"Si C, enak deket ma pejabat tinggi, cepet banget naeknya jadi pejabat eselon, yang jauh disini kapan promosinya"
Kolusi, iya, itulah yang menjadi masalah yang kuat ada dalam tulisan tersebut.
Siapa yang bisa dekat dengan pejabat, posisinya enak.. Masuk akal..! Tapi apakah DJP se-tidak profesional seperti itu?? Hanya mereka yang tau ... Hahaha.. Dan itulah yang perlu diketahui secara terbuka yang katanya di era reformasi birokrasi DJP yang transparan..
Saya pun berharap semua profesional, tidak ada kolusi di instansi ini, yang makmur hanya kalangan tertentu saja...
Saya kadang berpikir, apakah pejabat-pejabat yang diatas sana bener-bener profesional,?? apakah seorang yang mengatur mutasi tersebut menjalankan tugasnya dengan profesional tanpa menguntungan satu pihak saja.??
Contohnya begini, Si A, pejabat yang mengatur dan memutuskan mutasi, dulu waktu di jaman ia masi kuliah, dia sekamar dengan seorang teman seangkatannya, dulu sering minjem uang karena kiriman dari orang tua belum dapet ke temannya itu. Nah sekian tahun berlalu, temannya ini sekarang jauh, teman yang ia ajak hidup bersama, dan pernah berhutang budi, sekarang ia bertugas di ujung timur Indonesia, pengen balik ke homebasenya... Nah kondisi inilah yang menguji ke-profesional-an pejabat tersebut.
Itulah mutasi.. selalu ada cerita.. entah kesenangan atau kekecewaan,..
Masi ingat di benak saya, wajah-wajah rekan saya saat mendapat mutasi, ada wajah senang, ada wajah kekecewaan..
Kalo memang dirasa berat memikul beban tersebut, kenapa tidak keluar saja dari DJP,.? cari kerja di daerah rumah tempat tinggal, tidak jauh dari keluarga, kerja lebih tenang..
Apa karena takut tidak dapat kerja?
Kalo punya skill, seharusnya tidak akan khawatir seperti itu.. pasti banyak perusahaan yang mau menerima, seperti halnya beberapa rekan saya yang sudah menjalaninya, bahkan mendapat penghasilan yang lebih besar.
Menjadi usahawan juga bukan pilihan yang salah.. malah luar biasa.
Beda cerita jika bekerja dengan dasar sebuah idealisme, ingin bekerja mengabdi kepada negara, jika bekerja dengan idealisme, seharusnya semua keadaan berat tersebut pasti bisa dilalui, tentu hanya dengan harapan nasib kita ditentukan oleh orang yang profesional dan idealisme tinggi juga, bukan orang-orang yang hanya mementingkan segelintir orang saja.
Reward and punishment benar-benar diterapkan, jangan hanya punishment-nya saja.. Jangan pintar goblog, malas rajin semua sama, tidak akan maju..
Saya hanya berharap, semoga semua indikasi diatas tidak benar adanya, semua pejabat DJP sekarang profesional, memperhatikan keadaan pegawai. Biarlah pegawai bekerja dengan tenang, singkirkan saja pegawai yang masi bekerja denga etos kerja lama.
Akhir kata,
Untunglah nama saya diatas tidak disebut diindikasi diatas, Hahaha..
Jadi pegawai coro, kelas bawah, hampir 10 tahun di Jakarta, masi di kantor yang sama dari awal penempatan di bilangan Jakarta Timur.
Semoga nasib saya lebih baik, tidak dibuang jauh-jauh... Hahaha..